SISTEM TANAM PAKSA
MATA
KULIAH
SEJARAH
AGRARIA
PROGRAM
STUDI SEJARAH
JURUSAN
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Sistem Tanam Paksa”
Makalah ini
berisikan tentang informasi Sistem Tanam Paksa, yang nantinya penulis berharap
para pembaca dapat mendapat informasi dan memperdalam pengetahuan tentang Sistem
Tanam Paksa.
Penulis menyadari
bahwa Makalah ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan Makalah ini. Akhir kata,
penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan Makalah
ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha
kita. Amin.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
System pajak
tanah yang dilakukan oleh Raffles yang kemudian diteruskan oleh Komisaris
Jendral van der Capellen dan Du Bus de Gisignies telah mengalami kegagalan,
kegagalan yang dimaksud dalam hal ini adalah kegagalan dalam merangsang para
petani untuk meningkatkan produksi tanamanperdagangan untuk ekspor. Pemerintah
Hindia Belanda mengangkat jendral baru untuk Indonesia dengan alasan untuk
meningkatkan produksi tanaman ekspor pada tahun 1830, peningkatan tanaman
ekspor dirasa sangat perlu oleh pemerintah Belanda karena untuk menopang
keadaan ekonomi Belanda dengan hutangnya yang sangat besar. Karena Belanda
merasa tidak mempunyai jalan lain kecuali mencari pemecahan masalah di
wilayah-wilayah koloni, akhirnya menghasilkan gagasan system Tanam Paksa yang
diintroduksi oleh gubernur van den Bosch.sistem Tanam Paksa yang dijalankan
oleh van den Bosch disebut juga Cultuurstelsel,
yang berarti pemulihan kembali eksploitasi berupa penyerahan-penyerahan seperti
yang pernah dilakukan oleh VOC dahulu. Namun dalam system Tanam Paksa ini pihak
Belanda memberikan beberapa rangsangan-rangsangan postif, beberapa rangsangan
tersebut adalah setelah para penduduk pribumi melunasikewajiban pembayaran sewa
tanah (land rent) para penduduk
pribumi akan mendapatkan hasil bersih dari apa yang pernah mereka bayar.
1.2 Rumusan Masalah
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang dibahas dalam penulisan makalah ini adalah :
- Bagaimana terjadinya Tanam Paksa?
- Apakah dampak dari system tanam paksa tersebut?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan daripada penulisan makalah ini adalah :
- Mengetahui terjadinya system Tanam Paksa;
- Mengetahui dampak dari system tanam paksa;
- Memperdalam pengetahuan tentang system tanam paksa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Jalannya Sistem Tanam Paksa
Gubernur Jendral van
den Bosch memberlakukan system ini dengan mengambil pelajaran dari system pajak
tanah yang gagal pada era sebelumnya oleh Raffles, dari system pajak tanah yang
tidak mampu membuat para penduduk pribumi meningkatkan tanaman ekspor maka Gubernur
Jendral van den Bosch mecoba untuk meningkatkan hasil tanaman ekspor dengan
mengadakan kerjasama dengan para Bupati dan pejabat daerah yang dekat dengan
rakyat. Artinya system feodal di pedesaan harus dimanfaatkan agar para petani
mampu menghasilkan tanaman ekspor yang banyak, untuk itulah Gubernur Jendral
van den Bosch mencoba untuk mengadakan kerjasama dengan para pegawai
pemerintahan yang dekat dengan petani. System tanam paksa ini bisa dikatakan
sebagai bentuk pembaharuan dari system pajak tanah yang pernah dilakukan oleh
VOC selama dua abad, mengapa seperti itu? Hal ini dikarenakan para penduduk
pribumi juga dikenakan pajak oleh Gubernur Jendral van den Bosch, yang mana
pajak yang dikenakan bukan berupa uang melainkan berupa tanaman ekspor yang
telah mereka tanam. Pajak berupa hasil pertanian mereka ini juga menjadi ciri
dari system Tanam Paksa yang dilakukan oleh van den Bosch, hasil dari
pajak-pajak tersebut kemudian dikirim ke negeri Belanda untuk dijual kepada
pembeli dari Amerika dan Eropa dengan harga yang dapat menguntungkan Belanda.
System pajak tanah yang
berlangsung selama tahun 1810-1830, penanaman dan penyerahan wajib telah
dihapuskan kecuali daerah Parahyangan dan Jawa Barat. Namun didaerah
Parahyangan para penduduk pribumi diwajibkan menanam kopi dan pajak yang
diserahkan kepada pihak Belanda harus berupa kopi yang telah ditanam oleh
penduduk pribumi, sedangkan untuk tanaman yang lainnya tidak terdapat wajib
pajak. Namun pajak yang menjadi beban petani kepada bupati tidaklah termasuk
dalam pembebesan pajak oleh pemerintah kolonial Belanda, hal ini dilakukan
karena dalam masyarakat terdapat beberapa pajak yaitu pajak yang diberikan
kepada pemerintah colonial Belanda dan pajak yang diserahkan kepada Bupati
ataupun pihak pemerintah yang terdapat di daerah-daerah. System pajak tanah
dengan memberikan hasil pertanian ini dianggap akan berhasil oleh van den
Bosch, karena van den Bosch berpendapat bahwa pajak tanah yang diterapkan pada
era sebelumnya sangat meniksa petani. Hal ini dikarenakan petani harus membayar
pajak tanah hamper setengah dari penghasilan mereka dalam bertani, sehingga
system pajak tanah yang diterapkan oleh Bosch ini tergolong pajak yang
menguntungkan rakyat.
Peraturan mengenai
Tanam Paksa ini diberlakukan dalam stadsblad
(Lembaran Negara) No. 22 tahun 1834 yang berisikan sebagai berikut:
1)
Persetujuan-persetujuan
akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian tanah milik
mereka untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual dipasar Eropa.
2)
Bagian
tanah tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh
melebihi seperlima tanah pertanian yang dimiliki oleh penduduk di desa.
3)
Pekerjaan
yang diperlukan untuk menanam tanaman dagang tidak boleh melebihi pekerjaan
yang diperlukan untuk menanam padi.
4)
Bagian
tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran
pajak tanah.
5)
Tanaman
dagang yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada
pemerintah Hindia Belanda jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir
melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, selisih profitnya harus
diserahkan kepada rakyat.
6)
Panen
tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah,
sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau
ketekunan dari pihak rakyat.
7)
Penduduk
desa mengerjakan tanah-tanah mereka dibawah pengawasan kepala-kepala mereka,
sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah
membajak tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik
dan tepat pada waktunya.
Meskipun dalam
peraturan yang dibuat antara pihak petani dan pihak Belanda terlihat
menguntungkan pihak petani, namun dalam penerapannya tentunya saja Belanda
menginginkan hasil yang besar dengan modal yang sedikit dari pihak Belanda.
Maka tak heran jika dalam penerapannya banyak peraturan yang dilanggar oleh
Belanda, kecuali peraturan nomor 4 dan 7. Bahkan dalam Lembaran Negara tahun
1834 Nomor 22 pihak Belanda mengatakan bahwa dalam dalam menanam tanaman
dagang, haruslah terdapat kerelaan dari rakyat untuk menanam tanaman dagang
tersebut. Hal ini tentu membangkitkan semangat rakyat untuk percaya dan
mengakui bahwa pemerintahan Belanda sangatlah mengerti akan nasib rakyat,
meskipun dalam penerapannya pihak Belanda tidak berpihak kepada rakyat
melainkan mementingkan kepentingan sendiri.
Ada beberapa dampak
dari system tanam paksa yang diterapkan oleh van den Bosch ini, salah satu
dampak dari system tanam paksa ini adalah kepemilikan tanah secara massal oleh
satu orang (miliki komunal). Hal ini dikarenakan oleh pegawai pemerintah
kolonial yang menganggap bahwa desa dengan keseluruhan yang ada (tanah, dan
pegawai (petani)) sebagai suatu alat yang dapat digunakan untuk menetapkan
tugas penanaman paksa yang dibebenkan oleh pihak Belanda kepada tiap desa di
Indonesia. Jika dibandingkan dengan penyerahan wajib yang diterapakan oleh VOC
kepada penduduk, memang masih lebih menguntungkan rakyat pada system tanam
paksa ini. Hal ini dikarenakan dalam system tanam paksa pegawai Belanda ada
yang ditugaskan untuk mengawasi dan turun langsung kelapangan untuk membantu
para petani dalam menanam tanaman dagang, dari pegawai pemerintahan yang
ditugaskan untuk mengawasi petani ini disebut sebagai efisiensi karena dengan
mengawasi secara langsung tanaman para petani sehingga dapat mengurangi
kecurangan yang dilakukan oleh petani dilapangan.
Dalam penerapannya
Belanda banyak melakukan rangsangan-rangsangan yang diantaranya disebut dengan cultuurprocenten, cultuurprocenten adalah sebuah imbalan yang diberikan kepada Bupati
atau pegawai pemerintah di tingkat daerah jika mampu melebihi target yang sudah
ditetapkan oleh pemerintah colonial Belanda. Sehingga dalam penerapannya banyak
terjadi pemaksaan kepada para petani untuk menanam secara paksa yang dilakukan
oleh para pegawai pemerintahan di tingkat daerah seperti Bupati, Camat, dan
lain sebagainya. Dalam penerapannya system tanam paksa tentu merugikan rakyat,
karena pihak Belanda bisa mengkomandoi para pegawai pemerintahan di daerah
dengan menyuruh untuk meningkatkan hasil produksi lagi. Namun jika pihak
belanda bisa mendapatkan pasokan pegawai untuk menggarap tanah untuk menanam
tanaman dagang dengan membayar upah untuk jasa-jasa tenaga kerja, maka dinilai
tidak ekonomis oleh pihak Belanda. Tentu saja tidak dinilai ekonomis, karena
jika pihak Belanda harus memberikan upah kepada para petani yang bekerja
Belanda harus mengeluarkan uang yang banyak, sehingga Belanda hanya tinggal
memberikan upah kepada para Bupati dan pegawai pemerintahan di daerah.
2.2 Indonesia Di Tinggal
Sekilas memang tidak
ada perbedaan antara system tanam paksa dan pajak tanah yang diberlakukan oleh
VOC, sebenarnya terdapat perbedaan yaitu system yang dimaksud dalan system
tanam paksa ini bukanlah system pada umumnya melainkan terdiri dari beberapa
peraturan local (local arrangements)
yang diterapkan oleh setiap pemerintahan daerah dan berbeda antara satu daerah
satu dengan daerah yang lainnya. Van den Bosch kemudian kembali ke Belanda
untuk menerima jabatan Menteri Kolonial, setelah menerima gelar Menteri
Kolonial van den Bosch masih berusaha agar system tanam paksa yang diterapkan
olehnya masih tetap berada ditangannya sendiri, namun usahnya gagal.
Sepeninggal van den Bosch ke Belanda, Indonesia mengalami masa yang tak
menentu. Masa ini adalah masa dimana para pejabat pemerintah daerah melanjutkan
system tanam paksa yang telah di berlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda,
namun setelah van den Bosch sebagai pencetus system tanam paksa pindah dari Indonesia
ke Belanda, para pejabat pemerintah daerah menggunakan keadaan ini sebagai alat
untuk kepantingan pribadi.
Ketika para
pejabat pemerintah daerah mulai menggunakan keadaan ini sebagai alat untuk
kepentingan sendiri, maka dilain sisi rakyat sebagai pelaksana system tanam
paksa semakin terbebani oleh kepentingan para pejabat pemerintahan di daerah.
Selain itu tanah yang digunakan untuk system tanam paksa ini juga semakin
meningkat, yang awalnya tanah yang digunakan untuk tanam paksa hanya seperlima
dari tanah didesa, maka dalam penerapannya Belanda menggunakan hamper setengah
dari tanah di desa untuk system tanam paksa ini. Hal ini tentunya tidak banyak
berubah ketika Indonesia mulai kehilangan van den Bosch, yang kemudian
digantkan oleh para pejabat pamerintah daerah untuk kepentingan pribadi. Namun
jika dilihat secara keseluruhan pada tahun 1845, tanah yang digunakan untuk
system tanam paksa ini hanya 86.000 atau seperdelapanbelas dari keseluruhan
tanah yang berada di pulau Jawa. Menurut penelitian yang dilakukan oleh van
Neil menyebutkan bahwa selama masa system tanam paksa wilayah atau tanah-tanah
yang dikenakan system tanam paksa hanya 5% dari keseluruhan tanah yang berada
diwilayah Jawa, selain itu dalam sistem tanam paksa persentase keluarga-keluarga
petani yang terlibat mencapai 70% hal ini dikarenakan banyaknya tenaga kerja
yang diperlukan untuk system tanam paksa ini. Misalnya ketentuan untuk
melakukan tanam paksa yang seharusnya tidak melebihi pekerjaan menanam padi
dalam banyak hal tidak ditaati, hal ini dikarenakn Belanda menginginkan
banyaknya tanaman impor yang dihasilkan dari para petani untuk menopang keadaan
ekonomi Belanda terutama untuk membayar hutang Belanda.
Para petani pada
umumnya di paksa untuk menanam tanaman yang akan diperdagangkan di Eropa lebih
lama dibandingkan dengan menanam tanaman untuk keperluan sendiri seperti
misalnya padi, selain hal itu upah ayng diterima oleh pada petani sangatlah
minim dalam melakukan pekerjaan untuk menanam tanaman dagang tersebut. Hal yang
paling memberatkan para rakyat Indonesia pada saat itu adalah dipaksanya para
petani laki-laki untuk bekerja di perkebunan khususnya yang menanam tanaman
indigo yaitu diwilayah Parahyangan selama 7 bulan secara terus-menerus, selain
itu ketika para petani laki-laki tersebut kembali kekampung mereka, mereka
harus melihat sawah mereka tidak terurus dengan baik sehingga mengakibatkan
kehidupan rakyat khususnya para petani semakin menderita.
Jika dalam
perjanjian awal system tanam paksa ini membebaskan pajak tanah untuk daerah
yang digunakan untuk tanam paksa, namun dalam penerapannya berbeda. Karena pada
kelanjutan system tanam paksa, pemerintah kolonial Belanda mendapatkan
pendapatkan banyak dari pajak yang dikenakan kepada tanah rakyat. Sehingga tak heran
jika muncul dugaan bahwa dalam prakteknya Belanda bukan membebaskan pembayaran
pajak tanah, melainkan tanah yang disediakan untuk penanaman paksa. Hal ini
tentu tidak sesuai dengan ketentuan semula yang diutarakan Belanda kepada
rakyat Indonesia, memang tanah yang digunakan untuk system tanam paksa ini
relative kecil namun jumlah orang ang terlibat dalam system tanam paksa ini
relative tinggi. Ketentuan lain yang terdapat dalam system tanam paksa ini
menentukan bahwa selisih positif antara nilai yang ditaksir dari tanaman
dagangan yang dihasilkan dari pananaman paksa dan jumlah pajak tanah yang harus
dibayar oleh rakyat akan digunakan untuk kepentingan rakyat, jika dilihat dari
ketentuan yang telah di berikan oleh Belanda tersebut, terlihat sangat bagus.
Karena rakyat mendapat apa yang telah mereka berikan kepada Belanda, namun pada
kenyataannya rakyat tidak merasakan hal itu. Hal lain yang menjadi masalah dari
ketentuan yang diberlakukan oleh Belanda ini adalah “nilai yang ditaksir” dari
tanaman dagang, hal ini menjadi masalah karena dalam prakteknya taksiran yang
digunakan untuk tanaman rakyat berada jauh dibawah taksiran di pasar bebas.
Memang Belanda
hanya menginginkan keuntungan yang sangat besar dari Indonesia, sehingga jika
difikir secara akal sehat Indonesia hanya ditipu dan ditipu oleh Belanda.
Tanaman yang menjadi prioritas utama Belanda untuk ditanam oleh para petani
adalah Gula dan Nila (Indigo), namun kedua tanaman ini tidak menggoyahkan
tanaman kopi yang merupakan tanaman yang banyak diburu pada abad ke-19.
Sehingga jika disimpulkan ada tiga tanaman penting yang menjadi prioritas utama
bangsa Belanda, selain tanah yang digunakan untuk penanaman ketiga tanaman
tersebut cukup banyak, tenaga kerja yang ikut dalam tanam paksa ini juga cukup
banyak yaitu 450.000 untuk tanaman kopi, 300.000 orang untuk tanaman tebu, dan
110.000 orang untuk penanaman nila. Dari ketiga tanaman tersebut yang paling
berpengaruh dan sangat diprioritaskan tentunya adalah kopi, beberapa dampak
dari penanaman kopi ini diantaranya tanah milik rakyat menjadi tempat penanaman
tanaman yang lain seperti tebu dan nila.
2.4 Dampak Tanam Paksa
Sebelum membicarakan
tentang dampak dari system tanam paksa ini ada baiknya jika kita terlebih
dahulu mengetahui tentang pembagian tanaman yang wajib ditanam oleh para petani
Indonesia, yaitu tanaman musiman dan tanaman tahunan. Tanaman musiman meliputi
gula, nila, dan tembakau, sedangkan tanaman tahunan meliputilada,kopi, teh, dan
karet. Pembagian dilakukan karena tanaman musiman dapat berseling dengan
tanaman padi untuk kehidupan rakyat, sedangkan untuk tanaman tahunan tidak
dapat berotasi dengan tanaman padi sehingga para petani bisa dibilang rugi.
Seperti yang telah dijelaskan pada paragraph sebelumnya bahwa tanaman wajib
ditanam oleh petani adalah gula dan kopi, dari kedua tanaman ini salah satunya
merupakan jenis tanaman tahunan yang mana tidak dapat diselingi dengan tanaman
padi sehingga merugikan petani. Selain itu jika dilihat dari tanah yang
digunakan untuk penanaman tebu memerlukan tanah yang diirgasi sama dengan padi,
sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwasannya petani diharuskan merelakan sawah
mereka untuk penanaman tebu. Selain itu masyarakat juga memiliki pekerjaan
wajib, yaitu menanam, memanen, dan menyerahkan hasil pertanian mereka kepada
Belanda. Pekerjaan ini tentu sangat memberatkan rakyat, bahkan para penduduk
desa disuruh untuk bekerja layaknya kerja rodi yang pernah diterapkan oleh
Rafles.
Selain tanam
paksa yang sangat membebani rakyat selama 20 tahun (1830-1850), menurut
Gonggrijp rakyat juga masih dipaksa untuk membangun jalan, bangunan tempat
kantor, dan lain sebagainya (kerja rodi). Pekerjaan yang dibebankan kepada
rakyat Indonesia untuk kepentingan Belanda dan kepentingan para pemerintah
daerah (bangsa Eropa) untuk membangun dan merawat tempat-tempat yang telah
dibangun oleh Belanda dengan tidak memperhatika kondisi fisik rakyat,
mengakibatkan banyak rakyat yang meninggal akibat penyakit dan kekurangan
makanan. Hingga akhirnya kerja rodi ini dihentikan oleh Belanda, karena dirasa
akan merugikan Belanda akibat kekurangan pekerja. Sementara itu, di sisi lain
pihak Belanda sudah mendapatkan hasil dari tanaman ekspor yang ditanam oleh
pemerintah Belanda. Dari tahun ke tahun ekspor Belanda meningkat, meningkatnya
tanaman ekspor yang dihasilkan ternyata juga diikuti oleh meningkatnya harga
tanaman ekspor di pasar perdagangan Eropa. Namun ekspor hasil tanaman dagang
mengalami kemunduran pada tahun 1841-1849, hingga pada tahun 1850 tanaman
ekspor ini kembali menaik akibat meningkatnya tanaman yang dihasilkan oleh para
petani. Sebagai Negara maritime dengan luas wilayah yang cukup luas, Indonesia
tentunya juga dapat menghasilkan tanaman lain yang dapat di ekspor ke pasar
perdagangan di Eropa seperti misalnya tembakau, teh, padi, dan lain sebagainya.
Namun tanaman lain tersebut bukannya tidak laku dipasaran, melainkan tanaman
yang memang sangat diminati pada saat itu dipasar perdagangan dunia adalah gula
dan kopi, sehingga tanaman lain tidak begitu diperhatikan. Meskipun tidak
mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah kolonial Belanda, tanaman
lain tersebut dapat berkembang pesat pula. Seperti misalnya padi yang sangat
pesat perkembangannya di daerah Jawa Timur, pesatnya pendapatan padi bagi
pemerintah kolonial ini tidak lain karena petani rajin dan tekun dalam merotasi
tanaman yang ditanam. Selain itu diperbaikinya system irigasi yang dapat mendorong
tanaman padi untuk tumbuh dengan baik, selain menguntungkan tanaman padi,
perbaikan system irigasi ini juga menguntungkan produksi tanaman tebu dan padi
yang meruapakan tanaman wajib.
Kenyataan yang
terjadi di lapangan,peningkatan tersebut tidak berlaku merata secara
keseluruhan, peningkatan-peningkata tersebut hanya terjadi di daerah Jawa
Timur. Pemerintah colonial Belanda hanyanmementingkan produksi tanaman yang
laris di pasar Dunia. Orang-orang pun banyak yang tidak sadar bahwa semua
progress tersebut terdapat beberapa titik lemah, karena selama 10 tahun pertama
Culture Stelsel, proses produksi memang berjalan dengan baik seperti contoh
yang terjadi di daerah Cirebon. Hal tersebut juga terjadi di daerah Demak pada
tahun 1848.
Pada tahun 1840,
Sistem Tanam Paksa telah mencapai masa batas-batas kemampuannya untuk menguasai
para petani Jawa. Ini merupakan masa titik balik sejarah Culture Stelsel.
Gubernur Jenderal Rochussen memerintahkan agar mulai mengurangi proses Tanam
Paksa. Penderitaan masyarakat Indonesia selama bertahun-tahun di bawah system
Tanam Paksa akhirnya terdengar ke negeri Belanda dan menggugah hati nurani
masyarakat Belanda. Masyarakat mulai timbul keraguan tentang faedah-faedahnya
meneruskan Tanam Paksa yang dilakukan untuk mengembangkan social ekonomi dan
piltik di negeri Belanda. Perkembangan tersebut berhubungan dengan menyebarnya
aliran liberalis di Eropa Barat pada abad 19. Inti dari paham ini adalah
menghendaki agar seluruh kegiatan ekonomi diurus oleh usaha swasta tanpa campur
tangan pemerintah. Pemerintah hanya berwenang membuat sarana hukum dan
administratif.
Beberapa tokoh
Belanda ada yang menentang system Tanam Paksa
bahkan mengingikan agar pemerintah Belanda unutk membangun usaha swasta
di Indonesia untuk kemakmuran Indonesia setelah bertahun-tahun dirugikan oleh
pihak-pihak yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan di bawah system Tanam
Paksa yaitu antara lain Baron Van Hoevel,Vitalis dan Douwes Dekker. Setelah
berjuang cukup lama akhirnya Culture Stelsel secara perlahan dihapuskan pada
tahun 1860 melalui proses politik yang panjang oleh aliran liberalis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gubernur Jendral
van den Bosch memberlakukan system ini dengan mengambil pelajaran dari system
pajak tanah yang gagal pada era sebelumnya oleh Raffles, dari system pajak
tanah yang tidak mampu membuat para penduduk pribumi meningkatkan tanaman
ekspor maka Gubernur Jendral van den Bosch mecoba untuk meningkatkan hasil
tanaman ekspor dengan mengadakan kerjasama dengan para Bupati dan pejabat
daerah yang dekat dengan rakyat. Artinya system feodal di pedesaan harus
dimanfaatkan agar para petani mampu menghasilkan tanaman ekspor yang banyak,
untuk itulah Gubernur Jendral van den Bosch mencoba untuk mengadakan kerjasama
dengan para pegawai pemerintahan yang dekat dengan petani. System tanam paksa
ini bisa dikatakan sebagai bentuk pembaharuan dari system pajak tanah yang
pernah dilakukan oleh VOC selama dua abad, mengapa seperti itu? Hal ini
dikarenakan para penduduk pribumi juga dikenakan pajak oleh Gubernur Jendral
van den Bosch, yang mana pajak yang dikenakan bukan berupa uang melainkan
berupa tanaman ekspor yang telah mereka tanam. Pajak berupa hasil pertanian
mereka ini juga menjadi ciri dari system Tanam Paksa yang dilakukan oleh van
den Bosch, hasil dari pajak-pajak tersebut kemudian dikirim ke negeri Belanda
untuk dijual kepada pembeli dari Amerika dan Eropa dengan harga yang dapat
menguntungkan Belanda.
Sekilas memang
tidak ada perbedaan antara system tanam paksa dan pajak tanah yang diberlakukan
oleh VOC, sebenarnya terdapat perbedaan yaitu system yang dimaksud dalan system
tanam paksa ini bukanlah system pada umumnya melainkan terdiri dari beberapa
peraturan local (local arrangements)
yang diterapkan oleh setiap pemerintahan daerah dan berbeda antara satu daerah
satu dengan daerah yang lainnya. Van den Bosch kemudian kembali ke Belanda
untuk menerima jabatan Menteri Kolonial, setelah menerima gelar Menteri
Kolonial van den Bosch masih berusaha agar system tanam paksa yang diterapkan
olehnya masih tetap berada ditangannya sendiri, namun usahnya gagal.
Sepeninggal van den Bosch ke Belanda, Indonesia mengalami masa yang tak
menentu. Masa ini adalah masa dimana para pejabat pemerintah daerah melanjutkan
system tanam paksa yang telah di berlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda,
namun setelah van den Bosch sebagai pencetus system tanam paksa pindah dari
Indonesia ke Belanda, para pejabat pemerintah daerah menggunakan keadaan ini
sebagai alat untuk kepantingan pribadi.
Sebelum
membicarakan tentang dampak dari system tanam paksa ini ada baiknya jika kita
terlebih dahulu mengetahui tentang pembagian tanaman yang wajib ditanam oleh
para petani Indonesia, yaitu tanaman musiman dan tanaman tahunan. Tanaman
musiman meliputi gula, nila, dan tembakau, sedangkan tanaman tahunan
meliputilada,kopi, teh, dan karet. Pembagian dilakukan karena tanaman musiman
dapat berseling dengan tanaman padi untuk kehidupan rakyat, sedangkan untuk
tanaman tahunan tidak dapat berotasi dengan tanaman padi sehingga para petani
bisa dibilang rugi. Seperti yang telah dijelaskan pada paragraph sebelumnya
bahwa tanaman wajib ditanam oleh petani adalah gula dan kopi, dari kedua
tanaman ini salah satunya merupakan jenis tanaman tahunan yang mana tidak dapat
diselingi dengan tanaman padi sehingga merugikan petani. Selain itu jika
dilihat dari tanah yang digunakan untuk penanaman tebu memerlukan tanah yang
diirgasi sama dengan padi, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwasannya petani
diharuskan merelakan sawah mereka untuk penanaman tebu. Selain itu masyarakat
juga memiliki pekerjaan wajib, yaitu menanam, memanen, dan menyerahkan hasil
pertanian mereka kepada Belanda. Pekerjaan ini tentu sangat memberatkan rakyat,
bahkan para penduduk desa disuruh untuk bekerja layaknya kerja rodi yang pernah
diterapkan oleh Rafles.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Notosusanto, Nugroho,
Marwati DDjoened Poesponegoro. 2009. Sejarah Nasional Indonesia: Kemunculan
Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ø www.google.com
Ø www.yahoo.com
Ø
Tidak ada komentar:
Posting Komentar